Naga Hong Kong
Jumat, 22 Desember 2023 13:33 WIBHubungan cinta antara Perempuan TKW dengan majikannya di Hong Kong
Judul: Naga Hong Kong
Penulis: Naning Pranoto
Tahun Terbit: 2007
Penerbit: Raya Kultura
Tebal: 285
ISBN:
Entah cocok atau tidak menggolongkan novel “Naga Hong Kong” karya Naning Pranoto ini ke dalam novel pembauran. Meski bercerita tentang hubungan seorang perempuan Jawa yang menjadi TKW di Hong Kong dengan majikan kaya raya, tetapi bahasannya adalah lebih tentang keselarasan hidup. Naning Pranoto membingkai hubungan gadis Jawa dengan lelaki Cina untuk membahas nilai-nilai luhur dari berbagai budaya. Sedangkan di cover belakang, sinopsisnya justru menyinggung tentang hubungan cinta yang rumit antara seorang taipan dengan seorang aktris opera Beijing. Pasangan yang penuh cinta tetapi juga punya obsesi pribadi masing-masing.
Bahkan ada akademisi yang membahas novel ini dengan analisis ilmu sosial, yaitu tentang posisi perempuan.
Novel karya Naning Pranoto yang terbit pertama tahun 2009 ini memang mengisahkan seorang gadis Jawa lulusan psikologi yang merantau ke Hong Kong sebagai TKW. Naning Pranoto menyampaikan bahwa inspirasi novel ini adalah berasal dari seorang TKW bernama MM yang diwawancarainya. Si gadis Jawa yang lulusan psikologi itu merantau ke Hong Kong karena ini membantu orangtuanya dan kedua adiknya.
Maesaroh – demikinlah nama tokoh utama novel ini, mendapatkan majikan yang sangat baik. Ia dihargi oleh keluarga majikannya. Ia mendapat pekerjaan sebagai perawat anak-anak autis di sebuah panti asuhan. Panti asuhan tersbut bernama Fangzi-Fang (Rumah Kasih Sayang). Panti Asuhan Rumah Kasih Sayang adalah panti yang didirikan oleh keluarga Wang, seorang kaya Hong Kong. Keluarga Wang, dari sejak Wang Tua memang mempunyai kegiatan membantu anak-anak miskin. Sebab nenek moyang Wang adalah dari keluarga miskin. Karena mereka bekerja keras maka mereka berhasil menjadi tuan tanah di Hong Kong. Upaya baik tersebut dilanjutkan oleh Wang Muda dengan mendirikan Rumah Kasih Sayang.
Saat menjalani tugasnya sebagai perawat anak-anak di panti itulah ia beberapa kali bertemu dengan Wang Muda. Wang Muda bernama asli Albertus Wang. Ia bernama demikian karena ibunya adalah seorang Inggris bernama Hilda. Wang Muda adalah seorang pekerja keras dan kaya raya. Itulah sebabnya ia dijuluki Naga Hong Kong. Namun karena bermasalah dengan istrinya, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai pialang saham dan memilih menjadi sopir truk trayek Hong Kong ke Daratan Tiongkok.
Istri Wang adalah seorang aktris opera Beijing bernama Pea (si Merak) yang sangat terkenal. Keduanya saling cinta. Namun karena Pea ingin mempertahankan penampilannya, ia dua kali menggugurkan kandungan dari benih Wang Muda. Pengguguran kandungan inilah yang menyebabkan Hilda dan Wang kecewa kepada Pea. Pea yang masih sangat mencintai Wang berupaya dengan berbagai cara supaya bisa kembali rujuk.
Naning Pranoto membangun ceritanya melalui tuturan Maesaroh (Mae) sebagai orang pertama. Mae yang merasa diterima dan dihargai oleh majikannya bekerja dengan tekun membantu anak-anak autis tersebut. Di Panti itulah Mae sering bertemu dengan Wang Muda. Wang Muda yang menyukai melayani anak-anak semakin sering datang ke Panti karena ia merasa bisa berbincang dengan Mae.
Saking seringnya bertemu ini, mulailah muncul rasa saling suka antara Mae dengan Wang. Baik Mae maupun Wang merasa bisa berdiskusi untuk hal-hal yang mereka sukai. Khususnya tentang bagaimana merawat anak-anak autis. Tentu saja hubungan keduanya dalam hal cinta tak bisa dilakukan secara terbuka.
Semua Ajaran Adalah Untuk Kebaikan
Seperti telah saya singgung di atas, novel ini membahas tentang berbagai budaya dan nilai yang semuanya adalah untuk tujuan kebaikan manusia. Naning memasukkan budaya Jawa, Islam, Konghicu dan Katholik dalam novel ini. Dialog antarbudaya tersebut mengarah kepada kesimpulan bahwa semua ajaran itu baik dan untuk keluhuran hidup manusia. Misalnya, Naning memberi contoh bagaimana budaya makan di meja bundar di kalangan orang Tionghoa adalah budaya untuk menghargai para tamu. Naning juga membahas tentang sikap selalu bersyukur yang berasal dari budaya Jawa dan Islam membuat Mae bisa menerima tekanan pekerjaan yang dialami.
Bahkan di akhir cerita, Wang Muda begitu tertarik dengan ajaran Islam yang dianut oleh Mae. Wang Muda ingin diajari bagaimana memeluk Islam.
Memang Naning Pranoto mempromosikan indahnya perbedaan, seperti yang ditulisnya sebagai berikut: “Ternyata perbedaan itu indah dan itu sangat diperlukan untuk mewarnai hidup agar hidup ini tidak hanya hitam putih adanya” (hal. 275).
Psikologi
Naning memberi atribut tokoh utamanya sebagai seorang lulusan Psikologi. Itulah sebabnya Naning memberikan banyak ulasan tentang psikologi, khususnya tentang autisme. Naning memberi penjelasan cukup banyak tentang apa itu autisme dan bagaimana menanganinya. Penjelasan teknis tentang autisme ini menunjukkan bahwa Naning tidak sembarangan memberi atribut kepada tokohnya.
Mari sekarang kita kembali membahas apakah novel ini cocok dikategorikan ke novel bertema pembauran? Jika dilihat bagaimana kisah utamanya adalah saling tertariknya Maesaroh dengan Wang Muda, bisa saja disimpulkan bahwa sedikit banyak novel ini memang bicara tentang pembauran. Apalagi orangtua Wang Muda adalah China dan Inggris.
Bagi saya novel ini sangat berbda karena membahas pembauran bukan dari sisi perbedaan dan masalah sosial seperti novel-novel pembauran lainnya. Naning Pranoto memilih membahas pembauran dari sisi indahnya perbedaan budaya. Perbedaan budaya bukan menjadi penghalang, tetapi bisa menjadi penguat untuk mencari makna hidup yang lebih indah.
Sayang sekali novel ini memiliki cacat kecil. Di halaman 20, Naning Pranoto salah menyebut Emma, padahal seharusnya Hilda. Demikian juga di halaman 120, Wang Muda menyebut Ema, yang seharusnya Mae. 804
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Merah Putih Golek Kencana - Peran Orang Tionghoa di Masa Perjuangan Kemerdekaan
Rabu, 17 Januari 2024 12:48 WIBAssalamualaikum Beijing - Ketika Cina bertemu dengan Islam dalam Cinta
Minggu, 14 Januari 2024 16:17 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler